''Selama Berpuluh tahun aceh berada dalam status Daerah Operasi Militer ( DOM ). Selama itu pula media massa melaporkan kekejaman yang terjadi akibat dampak yang ditimbulkan dari '' kekacauan '' itu . Namun satu hal yang dapat dibuktikan hingga saat ini adalah : kekerasa dan kekuatan bersenjata itu ternyata tidak mampu menghentikan bara konflik yanga da hingga akhirnya ditutup dengan perjanjian damai antara RI dengan GAM di Helsinkie - Finlandia dengan MoU nya dan bermuara dengan lahirnya UU No 11 Tahun 2006 tentang Pmerintah Aceh memmberikan warna baru terhadap atmosfer bumi Serambi Mekkah .''
Sejarah mencatat, Aceh adalah wilayah
dengan riwayat kepahlawanan dan sekaligus pengorbanan yang demikian
panjang terentang. Bahkan di era kemerdekaanpun, sejumlah tokoh Aceh
telah menjadi “tumbal” dalam konflik politik yang berkepanjangan di bumi
Serambi Mekkah ini.
Aceh memang daerah yang sarat
kepentingan, oleh karenanya dijuluki “Daerah Modal”. Kepentingan atas
penguasaan daerah padat modal itulah barangkali merupakan salah satu
alasan yang menempatkan Aceh menjadi daerah sarat kepentingan. Itu pula
sebabnya mengapa perundingan damai antara pemerintah RI dengan GAM
sampai ditandatanganinya MoU damai di Helsinki sulit terwujudkan.
Secara geografis, Aceh yang terletak di
ujung barat pulau sumatera dengan ibu kota Banda Aceh ini memiliki luas
57.365,57 Km2. Dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Aceh dinyatakan
resmi berdiri sebagai Daerah Istimewa pada tanggal 7 Desember 1956. Pada
tanggal 9 Agustus 2001, melalui UU No. 18 Tahun 2001, status istimewa
berubah nama menjadi “ Daerah Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam “.
Status itu semakin diperkuat setelah lahirnya Undang-Undang No. 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sebagai daerah istimewa dan
otonom, kini Provinsi Aceh terbagi menjadi 23 kabupaten/kota dengan
jumlah penduduk lebih kurang 4,5 juta jiwa.
Sejarah Aceh penuh kontoversial dan hal
itu terus berlanjut. Salah satu tokoh sentral yang terus menyuarakan hak
rakyat Aceh untuk berdaulat penuh atas dasar sejarahnya yang panjang
itu adalah Dr. Teungku Hasan Tiro, salah satu murid Teungku Muhammad
Daud Beureueh yang pada saat itu lebih memilih untuk tinggal di Swedia.
Hasan Tiro bahkan memilih jalan politik yang lebih radikal dibanding
pendahulunya yakni menuntut kemerdekaan penuh bagi Aceh.
Ia bahkan tak pernah lagi mau mempercayai
apapun janji yang dinyatakan pemerintah Indonesia yang ada di jakarta.
Hasan Tiro melakukan berbagai upaya propaganda dan bahkan pada tahun
1976 membentuk Angkatan Bersenjata yang diberi nama “Angkatan Gerakan Aceh Merdeka “
(AGAM). Pemerintah Indonesia menyadari kesungguhan Hasan Tiro dalam
menuntut kemerdekaan bagi Aceh tersebut hingga menggelar Operasi
Militer, konflik antara TNI dan GAM pun semakin terbuka. Korbanpun
berjatuhan di kedua belah pihak, bahkan rakyat sipil yang tidak tahu
apa-apa, tidak sedikit yang akhirnya menjadi korban.
Selama berpuluh tahun Aceh kemudian
berada dalam status Daerah Operasi Militer (DOM). Selama itu pula media
massa melaporkan kekejaman yang terjadi akibat dampak yang ditimbulkan
dari “kekacauan” itu. Namun satu hal yang dapat dibuktikan hingga saat
ini adalah; kekerasan dan kekuatan bersenjata itu ternyata tidak mampu
menghentikan bara konflik yang ada hingga akhirnya “ditutup” dengan
perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan GAM di Kota
Helsinki-Finlandia dengan MoU nya dan bermuara dengan lahirnya UU No.
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan warna baru
terhadap atmosfeer bumi Serambi Mekah ini.
Proses lahirnya MoU dan UUPA.
Setelah konflik seakan tidak
akan pernah lepas dari Aceh, kini masyarakat Aceh mulai dapat bernafas
lega. Sejumlah perubahan telah terjadi di bumi Serambi Mekah ini. Masa
lalu Aceh yang muram, seperti yang tercatat dalam sejarah, perlahan
namun pasti mulai terhapus.
Berpuluh tahun lamanya Aceh
didera konflik, bahkan sejak awal abad ke 16, ketika Aceh masih
berbentuk kerajaan. Pada masa itu kesultanan Aceh telah terlibat perang
demi mempertahankan martabat dan kedaulatannya. Pertama perang dengan
portugis, lalu sejak abad ke-18 perang dengan Inggris dan Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda bahkan memerlukan waktu hingga puluhan tahun
(1873-1903) untuk menaklukkan Aceh.
Ironisnya, setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia, dimana Aceh kemudian menjadi daerah isimewa
setingkat provinsi di dalam wilayah Republik Indonesia, Aceh masih
terlibat dalam konflik bersenjata. Konflik dengan pemerintah ini berawal
dari ketidak puasan karena Aceh merasa diperlakukan tidak adil oleh
pemerintah pusat. Sejak tahun 1950 –an sejumlah tokoh Aceh melakukan
perlawanan dan bahkan kemudian pemberontakan. Puncaknya adalah ketika
tahun 1976 Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mengangkat senjata dan berusaha
memisahkan Aceh dari Indonesia. Namun upaya GAM itu tak pernah berhasil.
Sebaliknya Pemerintah Indonesiapun tidak pernah bisa dengan tuntas
memadamkan api gerakan sepaatis di Aceh. Berbagai perundingan, upaya
diplomatik hingga operasi militer yang dilakukan, tidak pernah
membuahkan hasil.
Sampai kemudian, pada 26
Desember 2004, sebuah gempa bumi besar berskala 8,9 richter mengguncang
Aceh dan menyebabkan tsunami. Bencana ini menelan ratusan ribu korban
jiwa, dan kerugian material yang sangat dahsyat. Di tengah konflik Aceh
yang tak kunjung selesai, gempa bumi dan gelombang tsunami itu semakin
menambah penderitaan rakyat Aceh. Seakan menjadi klimaks dari derita
berkepanjangan yang dialami masyarakat Aceh, Pemerintah Indonesia dan
para petinggi GAM akhirnya membuka kembali jalan perundingan bagi
terwujudnya kehidupan damai di bumi Aceh.
Pada tanggal 15 Agustus 2005,
di Helsinki, Finlandia Pemerintah Indonesia dan GAM berhasil mencapai
kesepakatan damai. Kedua belah pihak kemudian menandatangani Memorandum
of Understanding (MoU) bagi terwujudnya masa depan Aceh yang damai dan
sejahtera. Penandatanganan MoU di Helsinki ini menandai berakhirnya
konflik yang telah melanda Aceh selama lebih 30 tahun.
Salah satu implementasi
penting dari kesepakatan damai (MoU) tersebut adalah penyusunan
Undang-undang baru mengenai Pemerintahan Aceh. Sebagai Provinsi, Aceh
akan diberikan status otonomi yang luas dan pemerintahan sendiri (self government).
Atas inisiatif DPRA yang difasilitasi oleh Kemitraan Bagi Pembaruan
Tata Pemerintahan Indonesia, dimulailah proses perumusan Undang-undang
Pemerintahan Aceh tersebut dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat
Aceh.
Apalagi Pasal 1 ayat 1 MoU
Helsinki menyebutkan Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh (PPA) merupakan
perangkat hukum penting untuk membangun Aceh yang baru, yakni Aceh yang
damai, berkeadilan, demokratis, menghormati HAM, moderen dan makmur
tanpa mengenyampingkan tradisi, sejarah, adat istiadat dan tata kelola
pemerintahan yang baik. MoU tersebut juga mengamanatkan agar UU tentang
Pemerintahan Aceh tersebut dapat mengatur hal-hal pokok seperti tata
hubungan antara pemerintah pusat dengan pemrintah Aceh, partisipasi
politik termasuk pembentukan Partai Politik Lokal, pembangunan ekonomi,
penegakan HAM, prinsip-prinsip reintegrasi termasuk sumber dan
pengelolaan dana integrasi dan akuntabilitas penggunaannya, pengaturan
keamanan serta penegakan hukum termasuk di dalamnya membangun sistem
keadilan terpadu (Integrated justice system).
Masyarakat Aceh sendiri
sangat antusias dengan proses dialog yang digelar mengiringi penyusunan
draft rancangan undang-undang tentang Pemerintahan Aceh (RUUPA)
tersebut. Antusiasme itu muncul karena penyelesaian persoalan Aceh tidak
lagi hanya melibatkan GAM dan Pemerintah Pusat, tetapi seluruh komponen
masyarakat Aceh.
Walaupun demikian, pembuatan
RUUPA bukanlah pekerjaan mudah, RUU PA harus mampu menyerap seluruh
aspirasi masyarakat Aceh yang telah lama dilanda konflik. Selain itu,
RUU ini harus mampu menjamin kehidupan yang lebih baik bagi Aceh. Dan
yang tak kalah penting, RUU ini harus tetap menjaga keberadaan Aceh
sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
yang mengayomi seluruh warga negaranya.
Wajar bila penyusunan RUU PA
itu menjadi isu terpanas sepanjang akhir tahun 2005 hingga pertengahan
agustus 2006. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri menolak
penerjemahan MoU Helsinki menjadi Undang-undang. Menurut Permadi,
anggota fraksi PDIP di DPR, PDIP ketika itu menganggap MoU ini adalah
embrio untuk Aceh menuju merdeka.
Namun langkah menyusun RUU PA
tak bisa dihentikan. Menurut pakar hukum tata negara, Prof. Sri
Sumantri, Undang-undang itu harus bisa menyatukan tiga hal tanpa saling
bertentangan, yaitu bentuk NKRI, UUD 1945, dan MoU Helsinki. Misalnya,
klausul MoU yang menyatakan bahwa keputusan pemerintah dan DPR yang
terkait Aceh harus dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan DPR Aceh,
perlu dikoreksi.
Tak mengherankan bila
pembahasan untuk menghasilkan draft RUU PA ini berlangsung secara
merathon dan melibatkan banyak kalangan. Sejumlah pihak telah menyiapkan
draft RUU tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh ini. Ada tiga draft
versi tiga perguruan tinggi yakni Universitas Syiah Kuala, IAIN
Ar-Raniry, dan Universitas Malikussaleh. Untuk maksud yang sama DPRA
membentuk Pansus XVIII. Belakangan ada pula naskah yang disusun oleh GAM
dan Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF).
Melihat perkembangan itu, ada
upaya menyatukan semua draft yang dibuat oleh banyak pihak. Tercatat
ada 33 kali pertemuan yang dilakukan oleh elemen-elemen masyarakat dari
seluruh pelosok Aceh. Akhirnya pada akhir 2005, draft dari tiga
universitas itu berhasil disatukan dan dimatangkan dalam sebuah Seminar
Raya pada 11 – 12 Oktober 2005 menjadi draft versi Pemerintah Provinsi.
Draft versi pemda itu
kemudian diserahkan kepada DPRD yang juga sudah menyusun draft. Kemudian
dua draft itu dirumuskan menjadi satu pada akhir november 2005 menjadi
RUU tentang Pemerintahan Aceh. Yang terdiri atas 38 BAB dan 209 pasal.
Inilah satu-satunya draft yang diajukan Aceh ke Pemerintah Pusat. Draf
RUU PA atas nama DPRD NAD itu dikirimkan kepada Menteri Dalam Negeri
pada 11 Januari 2006. Draf tersebut dijadikan acuan oleh Mendagri untuk
diusulkan ke DPR dan DPD.
Pemerintah, melalui
Departemen Dalam Negeri, menyusun ‘ulang’ draf versi DPRD ini menjadi 40
bab dan 206 pasal. Pemerintah menyerahkan draf tersebut ke DPR pada 11
Februari 2006. DPR sendiri membentuk Panitia Khusus RUU PA pada 14
Februari 2006 dengan ketuanya Ferry Mursyidan Baldan.
Keberhasilan penyusunan draf
RUU PA bukan berarti tugas selesai. Ini baru awal dari sebuah perjalanan
panjang berikutnya sampai menjadi UU. Maka dibentuklah tim advokasi
oleh DPRD NAD terdiri atas 16 orang yang merupakan wakil dari seluruh
fraksi. Selain itu ada lagi Tim Pengawal yang dibentuk Gubernur NAD.
Mereka adalah para Staf Ahli Gubernur, ada mantan bupati, mantan rektor,
ulama, tokoh pers Aceh, dan lain-lain. Beberapa LSM pun tak
ketinggalan. Praktis, selama pembahasan RUU ini tak lepas dari pantauan
langsung warga Aceh.
Di Jakarta sendiri ada Forum
Bersama (Forbes) yang beranggotakan anggota DPR dan DPD yang berasal
dari Aceh. Forbes selalu bekerja sama dengan tim advokasi dan tim
pengawal RUU PA. Forbes juga mendekati GAM di Stockholm, Swedia. Forbes
juga bertemu dengan wakil/utusan pihak asing yang berkepentingan dengan
damai di Aceh seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Seperti diketahui, pada
awalnya tidak semua partai mendukung RUU PA ini. Ganjalan datang dari
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai ini pada awalnya
memang tidak sepakat dengan MoU Helsinki. Latar belakang penolakan PDIP
terhadap MoU RI-GAM karena dilakukan di luar negeri dan oleh orang
asing. Megawati saat itu menilai ada intervensi atas kedaulatan bangsa
karena pemimpin GAM Hasan Tiro dan kawan-kawan ternyata
berkewarganegaraan Swedia.
Maka sejumlah tokoh
masyarakat Aceh yang dipimpin Mustafa Abubakar menemui Ketua Umum DPP
PDIP Megawati Soekarnoputri di kantor DPP PDIP Lenteng Agung, Jakarta
Selatan. Meagawati didampingi jajaran DPP PDIP dan fraksi PDIP DPR. Saat
itu, digambarkan Mustafa, Megawati tampak kurang senang dengan RUU PA.
Peristiwa menarik terjadi
ketika pembahasan RUU ini berlangsung. Pada Senin, 27 Februari 2006,
Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemerintah Aceh yang dipimpin
Wakil Ketua Pansus Teungku Muhammad Yus (F-PPP NAD I) mengadakan Rapat
Dengar Pendapat dengan Pejabat Gubernur Mustafa Abubakar, Ketua DPRD
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sayed Fuad Zakaria, Faisal Putra yang
merupakan anggota perumus RUU Pemerintahan Aceh versi utusan eks GAM.
Dalam rapat itu terungkap
bahwa seluruh komponen di Aceh termasuk eks GAM, menegaskan komitmennya
bahwa pembahasan RUU PA tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Faisal Putra menyatakan kesediaan GAM berdamai bukanlah
kamuflase. Itu juga ditegaskan pada bagian pengantar RUU yang menyatakan
Aceh merupakan bagian dari NKRI. Anggota Pansus Sutradara Ginting
(F-PDIP) mengakui penegasan komitmen pada NKRI itu menggembirakan.
Mengakui berbagai kecurigaan
tentang RUU PA ini muncul karena kekurangpahaman. Banyak yang kurang
pemahaman, misalnya ada pernyataan bahwa keputusan Pusat yang menyangkut
Aceh harus atas persetujuan DPRD Aceh, diubah menjadi dikonsultasikan.
Mengenai status Aceh, ada simbol-simbol Aceh misalnya ada Wali Nanggroe,
semua itu sudah ditempatkan. Apapun namanya bukan bendera pengganti RI,
wali nanggore juga dianggap sebagai khas tradisi Aceh. Yang penting,
itu semua dalam bingkai NKRI. Itu jaminannya. Sehingga kita berharap
Pilkada nanti dijalankan dalam semangat MoU Helsinki. Semua tidak boleh
lepas dari bingkai NKRI.
Muncul pula kekhawatiran
semangat memaksakan referendum. Tapi itu yang di cari titik temu.
Semangat referendum tidak kita biarkan tapi kita netralkan dengan cara
lain. Walaupun ada SIRA, itu tidak akan mengarah kepada referendum tapi
sekadar nama saja. Simbol-simbol bendera GAM tidak utuh, tapi warnanya
masih boleh.
GAM sendiri, menurut juru
bicara Komite Peralihan Aceh (KPA) Sofyan Dawood, mendukung apa pun
bentuk RUU PA yang saat itu dibahas di DPR RI sesuai dengan nota
kesepahaman (MoU) damai di antara Pemerintah RI dengan GAM pada 15
Agustus 2005. Pihak GAM hingga pembahasan itu berlangsung tidak
memberikan ultimatum apa pun tehadap RUU PA. Menurut Sofyan, saat itu
pihaknya hanya memikirkan cara penyelesaian masalah menyangkut RUU PA
baik secara diplomasi atau politik.
Pembahasan demi pembahasan
berlangsung lancar kendati banyak tantangan di sana-sini. Ini tentu di
luar prediksi masyarakat Aceh. Bayangkan, daftar isian masalah (DIM)
dalam pembahasan ini mencapai 1.400 poin. Biasanya semakin banyak DIM,
kian lama pembahasannya. Namun tidak lagi bagi RUU PA.
Dalam waktu 5 bulan, akhirnya
pada 11 Juli 2006 RUU PA disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) menjadi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA).
Sidang itu dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI, Agung Laksono. Memang
masih ada sedikit pro-kontra terhadap pengesahan RUU menjadi UU.
Begitu UU PA selesai
disahkan, DPR langsung membawa bundel hasil pembahasan UU PA itu ke
Banda Aceh. Bundel UU PA itu diserahkan secara simbolis oleh Ketua
Pansus RUU PA Ferry Mursyidan Baldan kepada penjabat Guberenur Aceh
Mustafa Abubakar, Ketua DPRD NAD Sayed Fuad Zakaria, Kapolda Irjen (Pol)
Bahrumsyah Kasman, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Pangdam Iskandar Muda
(IM) Mayjen TNI Supiadin Kamis (13/7/2006) malam.
Saat itu Ferry menjelaskan,
UU tersebut belum diundangkan sehingga belum ada nomornya, namun bundel
yang telah disahkan DPR RI tidak akan mengalami perubahan lagi pada saat
diundangkan baik isi maupun penomorannya. Ia menceritakan pembahasan UU
PA menghadapi berbagai tantangan karena pada tahap awal ada pro dan
kontra. Namun akhirnya masing-masing fraksi di DPR seakan berlomba
berbuat baik untuk Aceh. Kedatangan para wakil rakyat ini disambut oleh
masyarakat Aceh. Sebagai penghormatan, diadakanlah upacara peusijuk bagi para anggota DPR ini.
Tepat 1 Agustus 2006, UU PA
bernomor 11 Tahun 2006 ini akhirnya ditandatangani oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Sebelumnya, Ketua DPR, Agung Laksono, mengatakan UU
PA ini masih dimungkinkan untuk direvisi, namun ia berharap UU itu
disosialisasikan dan diimplementasikan terlebih dulu, termasuk
menyiapkan derivasinya berupa Qanun (Perda) dan Peraturan Pemerintah (PP).
Pada 3 Agustus 2006, UU PA
diserahkan oleh Menteri Dalam Negeri Muhammad Ma’ruf kepada Penjabat
Gubernur NAD Mustafa Abubakar di Gedung DPRD Banda Aceh. Tidak hanya
Ma’ruf, menteri lain seperti Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan
Djalil dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufik Effendi ikut
serta. Turut pula dalam rombongan menteri tersebut ; para pejabat tinggi
dari ketiga departemen, serta pihak Kemitraan bagi Pembaruan Tata
Pemerintahan di Indonesia yang diwakili oleh Direktur Eksekutif, M
Sobari, dan National Advisor –Program Aceh, Utama Sandjaja.
Acara penyerahan
undang-undang itu berlangsung sederhana dan khidmat. Acara itu
disaksikan oleh puluhan undangan yang merupakan perwakilan berbagai
unsur pemerintahan daerah, tokoh masyarakat, ulama, akademisi, lembaga
donor dan anggota Badan Reintegrasi-Damai Aceh (BRA), serta wartawan
lokal maupun nasional. Secara umum dalam undang-undang yang terdiri dari
273 pasal dan 44 BAB ini mengamanatkan kabupaten/kota di Aceh juga
berwenang mengatur serta mengurus sendiri urusan pemerintahan dalam
semua sektor publik. Kecuali enam hal yakni politik luar negeri,
pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta urusan
tertentu bidang agama.
Hari itu juga Kemitraan
memfasilitasi pelaksanaan acara dialog publik antara Mendagri Muhammad
Ma’ruf, Menkominfo Sofyan Djalil, Ketua DPRD NAD Sayed Fuad Zakaria dan
Direktur Eksekutif Kemitraan M Sobari yang akan disiarkan secara tunda
pada pukul 17:00 WIB di TVRI Banda Aceh.
Pesan yang secara umum
disampaikan dari dialog yang berlangsung selama satu jam ini adalah
tentang bagaimana upaya Pemerintah Pusat maupun Daerah di dalam
pelaksanaan sosialisasi pasal demi pasal kepada masyaakat Aceh secara
luas, sehingga pemahaman rakyat dapat tercapai secara utuh, dan
pelaksanaannya dapat dipastikan berjalan dengan baik. Ujungnya UU PA
dapat menjadi jembatan emas bagi NAD untuk maju dan berkembang.
Beberapa tokoh mengomentari isi undang-undang ini. Hampir semuanya merasa cukup puas. Situs www.kemitraan.or.id
mengutip pernyataan Wakil Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), HA Rahman
Kaoy. Ia menjelaskan bahwa UU ini telah mengakomodir seluruh aspirasi
masyarakat Aceh pada umumnya. Namun yang merupakan prioritas adalah
tentang bagaimana penerapan UU ini dapat memberi manfaat bagi rakyat
Aceh secara langsung. Namun Rahman juga menyatakan kekhawatirannya bahwa
pemahaman UU PA ini hanya berhenti pada kaum elitis, di mana tidak
semua orang Aceh mengerti sehingga pada akhirnya perubahan yang
diharap-harapkan tidak terlalu terasa.
Pendapat serupa dinyatakan H
Jamaluddin, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Bireuen,
bahwa UU PA yang sudah bagus ini, disusun dengan berbagai usaha dan
proses yang sulit. Namun, (semua upaya itu) tidak sesulit penerapannya.
UU apapun bisa disusun oleh siapa saja, semua orang pintar bisa
melakukan itu, namun di dalam penerapannya maka kepintaran saja tidak
cukup. Yang terpenting adalah bagaimana substansi UU PA tersebut dapat
diterima rakyat secara penuh sehingga rakyat sebagai elemen pelaku riil
di lapangan dapat mematuhinya dengan ikhlas. Saat itulah, sebuah UU
dapat dinilai sebagai suatu produk yang utuh.
Pihak asing pun cukup puas
dengan hasil pembahasan UU PA di DPR. Pada dasarnya elemen-elemen dasar
(MoU Helsinki) itu sudah tercantum dalam UU PA,”kata Ketua AMM Pieter
Feith. Penilaian positif juga datang dari Ketua Dewan Direktur CMI
Martti Ahtisaari saat berkunjung ke Aceh pada Agustus 2006.
Disampaikan Oleh :
Ketua Komisi A DPRA (Drs. Tgk. H. Adnan Beuransyah)
Pada:
Sosialisasi Kebijakan Politik Pemerintah Aceh Angkatan II oleh Badan Kesbangpol dan Linmas Aceh Bekerjasama dengan BEM Fakultas Hukum Universitas Abulyatama Aceh
Ketua Komisi A DPRA (Drs. Tgk. H. Adnan Beuransyah)
Pada:
Sosialisasi Kebijakan Politik Pemerintah Aceh Angkatan II oleh Badan Kesbangpol dan Linmas Aceh Bekerjasama dengan BEM Fakultas Hukum Universitas Abulyatama Aceh
Banda Aceh, 19 Juni 2013, Hotel Regina, Banda Aceh
Terima Kasih
1 Komentar untuk "Sejarah Lahirnya MoU Helsinky Dan UUPA "
Obat Manjur Penyakit Huuteun Untuk Ayam Bangkok
Vitamin Andalan Para Botoh Senior Ayam Bangkok