Meugang, inilah sejarah asal usul meugang di Aceh

'Jak beangkahoe jeut, makmeugang woe, ( Pergi kemana saja boleh, tapi waktu hari meugang pulang, begitulah pesan pendek dari orang tua untuk anaknya yang di perantauan , pulang disini dalam artian merantau kemana saja boleh tapi waktu hari meugang pulang ke kampung halaman atau kerumah orang tua) '' Bagi masyarakat aceh meugang merupakan tradisi yang tidak akan dilupakan, Meskipun orang Aceh berada jauh dari komunitasnya, sedapat mungkin , kendati dalam skala kecil , mereka pasti akan melaksanakan tradisi 'meugang' walau sedang di perantauan. Rumah rumah akan tercium aroma masakan daging khas aceh saat hari meugang tiba. ''


Banda Aceh - “Jak barangkahoe jeut, makmeugang woe.” Begitu pesan pendek orang tua disaat anaknya akan ke perantauan. Kalimatnya memang pendek, namun sangat mudah diingat, apalagi menjelang puasa atau hari raya. Tentu kita di perantauan sangat sedih apabila tidak bisa menikmati sie meugang geutangun le mak bersama keluarga. Meugang atau “Makmeugang” adalah tradisi rakyat Aceh menyambut Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha dengan menyembelih lembu atau kerbau. Tradisi meugang sudah ada sejak Sultan Aceh. Dalam Undang-Undang Kesultanan Aceh dulu, yang dikenal dengan Qanun Meukuta Alam yang disyarah Tgk Di Mulek, dalam bab II pasal 5 Qanun Meukuta Alam, disebutkan bahwa, “Bila telah mendekati hari makmeugang, baik meugang puasa, meugang Hari Raya Fitrah, dan meugang Hari Raya Haji, sebulan sebelum memasuki hari meugang ini, semua keuchik, imuem meunasah, dan tuha peut di seluruh Aceh diwajibkan memeriksa tiap kampung yang dipimpinnya. Tujuannya untuk mengetahui jumlah fakir miskin, inong balee (perempuan janda), yatim piatu, orang sakit lasa (lumpuh) dan orang buta. Juga orang sakit lainnya yang tidak mampu lagi mencari nafkah”. Jumlah fakir miskin itu, menurut Qanun Meukuta Alam, harus dilaporkan oleh keuchik kepada imam mukim. Imam mukim meneruskan laporan tersebut kepada kadi-kadi dan hulubalang untuk disampaikan kepada kadi dua puluh dua, guna diteruskan kepada kadi muazzam. Kadi muazzam lalu menyampaikan kepada Syahk al-Islam untuk dilaporkan kepada Sultan Aceh tentang jumlah fakir miskin, perempuan janda, yatim piatu, dan jumlah orang sakit yang terdapat dalam negeri Aceh. Begitu sultan menerima laporan dari Syah al-Islam, sultan langsung memerintahkan Tandi Siasatnya (ajudan sultan) untuk membuka balai silaturahmi (semacam gudang logistik kerajaan), lalu mengambil dirham dan kain, serta membeli kerbau dan sapi untuk dipotong pada hari meugang. Semua perbekalan itu diserahkan sultan kepada keuchik masing-masing gampong untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin, perempuan janda, yatim-piatu, dan orang sakit yang tidak mampu lagi mencari nafkah, berdasarkan jumlah yang telah dilaporkan sebelumnya oleh imam mukim hingga sampai kepada sultan. Setiap meugang tiba, banyak peternak yang menyembelih sapinya atau kerbau untuk dijual. Karena permintaan cukup banyak, harga daging pada saat meungang biasanya melambung tinggi, bahkan ada argumen bahwa daging sapi di Aceh termahal di dunia. Padahal, kita tidak bisa menilai secara ekonomi saja persoalan harga daging uroe meugang. Kita sebenarnya sedang membeli harga sebuah produk budaya. Pada uroe meugang, lazimnya seluruh keluarga berkumpul untuk makan bersama dengan menu spesial masakan daging. Karenanya, ada juga yang menyebut uroe meugang dengan sebutan uroe pajoh-pajoh (makan). Sehingga dapat dipastikan, pada uroe meugang setiap rumah di Aceh akan tercium aroma masakan daging, baik daging kerbau atau daging sapi. Bahkan ada anggapan bila tidak masak daging pada saat uroe meugang, maka sepertinya terasa belum dikatakan meugang. Ketika meugang tiba semua anggota keluarga berkumpul. Bukan hanya keluarga dekat saja, tetapi juga keluarga jauh hadir berkumpul. Terkadang demi kebersamaan ada juga yang mengajak anggota keluarga makan-makan di pantai atau di tempat rekreasi lainnya. Selain itu, meugang diisi dengan kenduri menjamu fakir miskin dan anak-anak yatim. Bagi orang Aceh, meugang menjadi tradisi yang tidak akan pernah dan dapat dilupakan. Meskipun orang Aceh berada jauh dari komunitasnya, sedapat mungkin, kendati dalam skala kecil, mereka pasti akan melaksanakan tradisi ini walau di perantauan. Ketika meugang datang, di rumah-rumah orang Aceh pasti akan tercium aroma masakan daging khas Aceh, terutama gulai merah yang sangat menggugah selera. Bagi yang berada di perantauan, nurani kita tidak membantah bahwa di saat-saat meugang tiba diam-diam kita memendam rindu mendalam akan kampung halaman. Karena sebenarnya di perantauan, pada saat-saat seperti ini, tersimpan banyak kenangan kampung yang tidak akan terlupakan. Ada senyum anggota keluarga yang tidak akan pernah hilang. Ada ibu, ayah, aduen ngen adoe dan kawan-kawan sejawat yang hanyut dalam kebersamaan, yang ditemani aroma sie meugang dari rumah-rumah. Tentu bukan daging impor, justru melalui momen meuganglah kita seharusnya menyelamatkan sapi lokal dan para peternak dari kampung kita, tanpa mempermasalahkan harga. Toh, kalau kita hitung-hitung amal kita kepada mereka setahun sekali, kita yang bergaji banyak sungguh keterlaluan meminta kurang kepada mereka yang kalau kita kalkulasikan pendapatan mereka tak ada apa-apanya dalam kondisi kehidupan yang serba materialistis ini. Akhirnya, kita selalu menunggu datang lagi meugang agar dapat kembali pulang kampung untuk melunasi komitmen dan pesan ibunda, “Jak barangkahoe jeut, makmeugang woe.” Penulis adalah penikmat tradisi meugang, tinggal di Gampong Paloh Raya, Mukim Manee, Aceh Utara (Serambinews.com)
“Jak barangkahoe jeut, makmeugang woe.” Begitu pesan pendek orang tua disaat anaknya akan ke perantauan. Kalimatnya memang pendek, namun sangat mudah diingat, apalagi menjelang puasa atau hari raya. Tentu kita di perantauan sangat sedih apabila tidak bisa menikmati sie meugang geutangun le mak bersama keluarga. Meugang atau “Makmeugang” adalah tradisi rakyat Aceh menyambut Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha dengan menyembelih lembu atau kerbau. Tradisi meugang sudah ada sejak Sultan Aceh. Dalam Undang-Undang Kesultanan Aceh dulu, yang dikenal dengan Qanun Meukuta Alam yang disyarah Tgk Di Mulek, dalam bab II pasal 5 Qanun Meukuta Alam, disebutkan bahwa, “Bila telah mendekati hari makmeugang, baik meugang puasa, meugang Hari Raya Fitrah, dan meugang Hari Raya Haji, sebulan sebelum memasuki hari meugang ini, semua keuchik, imuem meunasah, dan tuha peut di seluruh Aceh diwajibkan memeriksa tiap kampung yang dipimpinnya. Tujuannya untuk mengetahui jumlah fakir miskin, inong balee (perempuan janda), yatim piatu, orang sakit lasa (lumpuh) dan orang buta. Juga orang sakit lainnya yang tidak mampu lagi mencari nafkah”. Jumlah fakir miskin itu, menurut Qanun Meukuta Alam, harus dilaporkan oleh keuchik kepada imam mukim. Imam mukim meneruskan laporan tersebut kepada kadi-kadi dan hulubalang untuk disampaikan kepada kadi dua puluh dua, guna diteruskan kepada kadi muazzam. Kadi muazzam lalu menyampaikan kepada Syahk al-Islam untuk dilaporkan kepada Sultan Aceh tentang jumlah fakir miskin, perempuan janda, yatim piatu, dan jumlah orang sakit yang terdapat dalam negeri Aceh. Begitu sultan menerima laporan dari Syah al-Islam, sultan langsung memerintahkan Tandi Siasatnya (ajudan sultan) untuk membuka balai silaturahmi (semacam gudang logistik kerajaan), lalu mengambil dirham dan kain, serta membeli kerbau dan sapi untuk dipotong pada hari meugang. Semua perbekalan itu diserahkan sultan kepada keuchik masing-masing gampong untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin, perempuan janda, yatim-piatu, dan orang sakit yang tidak mampu lagi mencari nafkah, berdasarkan jumlah yang telah dilaporkan sebelumnya oleh imam mukim hingga sampai kepada sultan. Setiap meugang tiba, banyak peternak yang menyembelih sapinya atau kerbau untuk dijual. Karena permintaan cukup banyak, harga daging pada saat meungang biasanya melambung tinggi, bahkan ada argumen bahwa daging sapi di Aceh termahal di dunia. Padahal, kita tidak bisa menilai secara ekonomi saja persoalan harga daging uroe meugang. Kita sebenarnya sedang membeli harga sebuah produk budaya. Pada uroe meugang, lazimnya seluruh keluarga berkumpul untuk makan bersama dengan menu spesial masakan daging. Karenanya, ada juga yang menyebut uroe meugang dengan sebutan uroe pajoh-pajoh (makan). Sehingga dapat dipastikan, pada uroe meugang setiap rumah di Aceh akan tercium aroma masakan daging, baik daging kerbau atau daging sapi. Bahkan ada anggapan bila tidak masak daging pada saat uroe meugang, maka sepertinya terasa belum dikatakan meugang. Ketika meugang tiba semua anggota keluarga berkumpul. Bukan hanya keluarga dekat saja, tetapi juga keluarga jauh hadir berkumpul. Terkadang demi kebersamaan ada juga yang mengajak anggota keluarga makan-makan di pantai atau di tempat rekreasi lainnya. Selain itu, meugang diisi dengan kenduri menjamu fakir miskin dan anak-anak yatim. Bagi orang Aceh, meugang menjadi tradisi yang tidak akan pernah dan dapat dilupakan. Meskipun orang Aceh berada jauh dari komunitasnya, sedapat mungkin, kendati dalam skala kecil, mereka pasti akan melaksanakan tradisi ini walau di perantauan. Ketika meugang datang, di rumah-rumah orang Aceh pasti akan tercium aroma masakan daging khas Aceh, terutama gulai merah yang sangat menggugah selera. Bagi yang berada di perantauan, nurani kita tidak membantah bahwa di saat-saat meugang tiba diam-diam kita memendam rindu mendalam akan kampung halaman. Karena sebenarnya di perantauan, pada saat-saat seperti ini, tersimpan banyak kenangan kampung yang tidak akan terlupakan. Ada senyum anggota keluarga yang tidak akan pernah hilang. Ada ibu, ayah, aduen ngen adoe dan kawan-kawan sejawat yang hanyut dalam kebersamaan, yang ditemani aroma sie meugang dari rumah-rumah. Tentu bukan daging impor, justru melalui momen meuganglah kita seharusnya menyelamatkan sapi lokal dan para peternak dari kampung kita, tanpa mempermasalahkan harga. Toh, kalau kita hitung-hitung amal kita kepada mereka setahun sekali, kita yang bergaji banyak sungguh keterlaluan meminta kurang kepada mereka yang kalau kita kalkulasikan pendapatan mereka tak ada apa-apanya dalam kondisi kehidupan yang serba materialistis ini. Akhirnya, kita selalu menunggu datang lagi meugang agar dapat kembali pulang kampung untuk melunasi komitmen dan pesan ibunda, “Jak barangkahoe jeut, makmeugang woe.” Penulis adalah penikmat tradisi meugang, tinggal di Gampong Paloh Raya, Mukim Manee, Aceh Utara (Serambinews.com)

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
“Jak barangkahoe jeut, makmeugang woe.” Begitu pesan pendek orang tua disaat anaknya akan ke perantauan. Kalimatnya memang pendek, namun sangat mudah diingat, apalagi menjelang puasa atau hari raya. Tentu kita di perantauan sangat sedih apabila tidak bisa menikmati sie meugang geutangun le mak bersama keluarga. Meugang atau “Makmeugang” adalah tradisi rakyat Aceh menyambut Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, dan Hari Raya Idul Adha dengan menyembelih lembu atau kerbau. Tradisi meugang sudah ada sejak Sultan Aceh. Dalam Undang-Undang Kesultanan Aceh dulu, yang dikenal dengan Qanun Meukuta Alam yang disyarah Tgk Di Mulek, dalam bab II pasal 5 Qanun Meukuta Alam, disebutkan bahwa, “Bila telah mendekati hari makmeugang, baik meugang puasa, meugang Hari Raya Fitrah, dan meugang Hari Raya Haji, sebulan sebelum memasuki hari meugang ini, semua keuchik, imuem meunasah, dan tuha peut di seluruh Aceh diwajibkan memeriksa tiap kampung yang dipimpinnya. Tujuannya untuk mengetahui jumlah fakir miskin, inong balee (perempuan janda), yatim piatu, orang sakit lasa (lumpuh) dan orang buta. Juga orang sakit lainnya yang tidak mampu lagi mencari nafkah”. Jumlah fakir miskin itu, menurut Qanun Meukuta Alam, harus dilaporkan oleh keuchik kepada imam mukim. Imam mukim meneruskan laporan tersebut kepada kadi-kadi dan hulubalang untuk disampaikan kepada kadi dua puluh dua, guna diteruskan kepada kadi muazzam. Kadi muazzam lalu menyampaikan kepada Syahk al-Islam untuk dilaporkan kepada Sultan Aceh tentang jumlah fakir miskin, perempuan janda, yatim piatu, dan jumlah orang sakit yang terdapat dalam negeri Aceh. Begitu sultan menerima laporan dari Syah al-Islam, sultan langsung memerintahkan Tandi Siasatnya (ajudan sultan) untuk membuka balai silaturahmi (semacam gudang logistik kerajaan), lalu mengambil dirham dan kain, serta membeli kerbau dan sapi untuk dipotong pada hari meugang. Semua perbekalan itu diserahkan sultan kepada keuchik masing-masing gampong untuk dibagi-bagikan kepada fakir miskin, perempuan janda, yatim-piatu, dan orang sakit yang tidak mampu lagi mencari nafkah, berdasarkan jumlah yang telah dilaporkan sebelumnya oleh imam mukim hingga sampai kepada sultan. Setiap meugang tiba, banyak peternak yang menyembelih sapinya atau kerbau untuk dijual. Karena permintaan cukup banyak, harga daging pada saat meungang biasanya melambung tinggi, bahkan ada argumen bahwa daging sapi di Aceh termahal di dunia. Padahal, kita tidak bisa menilai secara ekonomi saja persoalan harga daging uroe meugang. Kita sebenarnya sedang membeli harga sebuah produk budaya. Pada uroe meugang, lazimnya seluruh keluarga berkumpul untuk makan bersama dengan menu spesial masakan daging. Karenanya, ada juga yang menyebut uroe meugang dengan sebutan uroe pajoh-pajoh (makan). Sehingga dapat dipastikan, pada uroe meugang setiap rumah di Aceh akan tercium aroma masakan daging, baik daging kerbau atau daging sapi. Bahkan ada anggapan bila tidak masak daging pada saat uroe meugang, maka sepertinya terasa belum dikatakan meugang. Ketika meugang tiba semua anggota keluarga berkumpul. Bukan hanya keluarga dekat saja, tetapi juga keluarga jauh hadir berkumpul. Terkadang demi kebersamaan ada juga yang mengajak anggota keluarga makan-makan di pantai atau di tempat rekreasi lainnya. Selain itu, meugang diisi dengan kenduri menjamu fakir miskin dan anak-anak yatim. Bagi orang Aceh, meugang menjadi tradisi yang tidak akan pernah dan dapat dilupakan. Meskipun orang Aceh berada jauh dari komunitasnya, sedapat mungkin, kendati dalam skala kecil, mereka pasti akan melaksanakan tradisi ini walau di perantauan. Ketika meugang datang, di rumah-rumah orang Aceh pasti akan tercium aroma masakan daging khas Aceh, terutama gulai merah yang sangat menggugah selera. Bagi yang berada di perantauan, nurani kita tidak membantah bahwa di saat-saat meugang tiba diam-diam kita memendam rindu mendalam akan kampung halaman. Karena sebenarnya di perantauan, pada saat-saat seperti ini, tersimpan banyak kenangan kampung yang tidak akan terlupakan. Ada senyum anggota keluarga yang tidak akan pernah hilang. Ada ibu, ayah, aduen ngen adoe dan kawan-kawan sejawat yang hanyut dalam kebersamaan, yang ditemani aroma sie meugang dari rumah-rumah. Tentu bukan daging impor, justru melalui momen meuganglah kita seharusnya menyelamatkan sapi lokal dan para peternak dari kampung kita, tanpa mempermasalahkan harga. Toh, kalau kita hitung-hitung amal kita kepada mereka setahun sekali, kita yang bergaji banyak sungguh keterlaluan meminta kurang kepada mereka yang kalau kita kalkulasikan pendapatan mereka tak ada apa-apanya dalam kondisi kehidupan yang serba materialistis ini. Akhirnya, kita selalu menunggu datang lagi meugang agar dapat kembali pulang kampung untuk melunasi komitmen dan pesan ibunda, “Jak barangkahoe jeut, makmeugang woe.” Penulis adalah penikmat tradisi meugang, tinggal di Gampong Paloh Raya, Mukim Manee, Aceh Utara (Serambinews.com)

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ
0 Komentar untuk "Meugang, inilah sejarah asal usul meugang di Aceh"

Back To Top