Nama Lengkap: Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili
Lahir : 1024 H / 1615 M di Singkil, Aceh
" Syehk Abdurrauf adalah ulama besar Aceh yang terkenal, ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera, Nusantara dan Asia Tenggara. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh .Pada Abad ke-13.''
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884
Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).
Lahir : 1024 H / 1615 M di Singkil, Aceh
" Syehk Abdurrauf adalah ulama besar Aceh yang terkenal, ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera, Nusantara dan Asia Tenggara. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh .Pada Abad ke-13.''
IndoPedia - Nama
lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri
As-Singkili. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari
Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada
akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya
sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda
Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses
pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk
mendalami agama Islam.
Kitabnya yang berjudul Umtad Al
Muhtajin membuka mata kita bagaimana Syeikh Kuala membangun jaringan
intelektualnya. Gurunya tersebar dari Yaman, Qatar, Aden hingga
dataran Hejaz. Ia belajar tidak hanya ilmu “lahir’ saja tetapi juga
ilmu”batin”. Kemasyuhrannya dalam penguasaan dua ilmu tersebut
melahirkan banyak karya yang sampai sekarang masih menjadi bahan
rujukan para ulama maupun cerdik pandai.
Syeikh Kuala memang bukan nama
asing bagi masyarakat Aceh saja. Tetapi dikenal di seantero ranah
Melayu dan dunia Islam international. Syeikh Kuala atau Syeikh Abdurauf
Singkel adalah tokoh tasawuf juga ahli fikih yang disegani. Lelaki
asal Sinkel, Fansur Aceh Utara ini dikenal sebagai salah satu ulama
produktif. Karyanya banyak mulai tasawuf hingga fikih. Pengaruhnya
sangat besar dalam perkembangan Islam di Nusantara. Tak salah kalau
menghormati jasanya namanya diabadikan menjadi nama universitas di
Banda Aceh.
Prof. Dr. Azyumardi Azra
menyebutnya sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab dalam
membuka jaringan ulama Nusantara di dunia internasional. Berkat jasanya
orang-orang Indonesia kemudian masuk dalam jajaran jaringan ulama
dunia. Tidak salah kalau kemudian muncul nama-nama ulama besar seperti
Syeikh Nawawi al Bantani, Syeikh Mahfudz At Tirimisi, dan lain-lain
yang mempunyai reputasinya mendunia.
Ayahnya menjadi guru pertama
dalam pengetahuan agama di Dayah (Madrasah) Simpang Kanan, di kawasan
pedalaman Singkel. Selepas itu melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi
di Barus (Dayan Tengku Chik) yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri. Di
sekolah ini beliau belajar ilmu agama, sejarah, mantik, falsafah,
sastra Arab/Melayu dan juga bahasa Parsi.
Setelah tamat kemudian
meneruskan pengajian ke sekolah Samudra Pasai yang dipimpin oleh Syeikh
Syamsuddin As Samathrani. Sewaktu Syamsuddin diangkat menjadi Qadli
Malikul Adil (Kadi Besar) pada zaman Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa
Perkasa Alam Syah, Abdurrauf bertolak ke Mekah dan merantau ke beberapa
buah negara Asia Barat lain untuk mendalami ilmu di sana.
Tercatat Syeikh Abdurauf pernah
menjadi mufti Kerajaan Aceh ketika zaman Sultanah Safiatuddin Tajul
Alam (1641-1643). Atas dukungan Raja Safiatuddin, Abdurauf memulai
perjalanan intelektualnya menuju tanah suci. Banyak pusat-pusat
keilmuawan yang dikunjunginya sepanjang jalur perjalanan haji.
Disamping itu, Syeikh Abdurauf tidak belajar secara formal dengan
beberapa ulama. Perkenalannya dengan banyak tokoh ulama seperti
Muhammad Al Babili dari Mesir dan Muhammad Al Barzanji dari Anatolia
menjadi ladang pencarian ilmu secara informal.
Syeikh Muhammad Al Babili
merupakan salah satu ulama Muhadis terkemuka kala itu di Haramain.
Adapaun Syeikh Muhammad al Barzanji dikenal sebagai sufi tersohor.
Syeikh Abdurrauf tinggal selama 19 tahun di Mekah.
Syeikh Abdurauf bercerita bahwa
dirinya banyak mendapatkan ilmu “lahir’ dari Syeikh Ibrahim bin
Abdullah Jam’an di Bait al faqih dan Mauza’. Lewat gurunya ini, ia
berkenalan dengan tokoh tarekat seperti Syeikh Ahmad Qusyaysi dan
Syeikh Ibrahim al Kurani. Lewat keduanya Syeikh Abdurauf mendapatkan
ijazah tarekat Syatariyah. Tentang gurunya ini syikh Abdurrauf
menyebutnya sebagai pembimbing spiritual di jalan Allah.
Sekitar tahun 1622 M Abdurrauf
pulang kampung. Ia kemudian mengajarkan tarikat Syathariyah di
daerahnya. Banyak santri yang berdatangan untuk berguru. Muridnya pun
berasal dari berbagai daerah di wilayah Nusantara. Diantara muridnya
yang paling terkenal adalah Syikh Burhanuddin Ulakan Sumatera Barat dan
Syeikh Abdullah Muhyi, Pamijahan, Jawa Barat.
Pengaruhnya sangat penting di
kerajaan Aceh. Hingga di Aceh ada semacam kata-kata yang berbunyi “Adat
bak Poteu Mereuhom, Hukom bak Syiah Kuala” maksudnya, “Adat di bawah
kekuasaan almarhum (raja), sementara syariat (Islam) di bawah Syeikh
Kuala. Ayat ini mejelaskan betapa besarnya kuasa, peranan dan pengaruh
Abdurrauf dalam pemerintahan ketika itu yang hampir sama besar dengan
kuasa sultan. Ketika gabungan antara umara dan ulama inilah juga Aceh
mencapai kegemilangan.
Sementara itu Hamka yang juga ahli filosofi dan ulama modern Indonesia, di dalam tulisannya pernah menurunkan sebaris kata-kata yang dinukilkan oleh Fakih Shaghir seorang ulama terkenal di zaman Perang Paderi, yaitu nenek kepada Sheikh Taher Jalaluddin az-Azhari (meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar), yang berbunyi: “Maka adalah saya Fakih Shaghir menerima cerita daripada saya punya bapa, sebabnya saya mengambil pegangan ilmu hakikat, kerana cerita ini adalah ia setengah daripada adat dan tertib waruk orang yang mengambil fatwa juga adanya. Yakni adalah seorang aulia Allah dan khutub lagi kasyaf lagi mempunyai keramat iaitu, di tanah Aceh iaitu Tuan Syeikh Abdurrauf.”
Sementara itu Hamka yang juga ahli filosofi dan ulama modern Indonesia, di dalam tulisannya pernah menurunkan sebaris kata-kata yang dinukilkan oleh Fakih Shaghir seorang ulama terkenal di zaman Perang Paderi, yaitu nenek kepada Sheikh Taher Jalaluddin az-Azhari (meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala Kangsar), yang berbunyi: “Maka adalah saya Fakih Shaghir menerima cerita daripada saya punya bapa, sebabnya saya mengambil pegangan ilmu hakikat, kerana cerita ini adalah ia setengah daripada adat dan tertib waruk orang yang mengambil fatwa juga adanya. Yakni adalah seorang aulia Allah dan khutub lagi kasyaf lagi mempunyai keramat iaitu, di tanah Aceh iaitu Tuan Syeikh Abdurrauf.”
Tarikat Syattariyah
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884
Sebagai ulama tasawuf, Syeikh
Abdurauf tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tarekat Syatariyah.
Hampir semua ordo tarekat Syatariyah di Nusantara silsilahnya berujung
padanya. Tarekat ini tersebar mulai dari Aceh hinga ke Sumatera Barat.
Kemudian berkembang menyusur ke Sumatera Selatan hingga Cirebon.
Dalam bertasawuf Abdurauf
menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah SWT. Alam
ciptaan-Nya adalah bayangan , yakni bayangan dari wujud hakiki.
Walaupun wujud hakiki (Tuhan) berbeda dengan wu jud bayangan (alam),
terdapat keserupaan antara wujud ini. Tuhan melakukan tajali
(penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat-sifat Tuhan secara tidak
langsung tampak pada manusia, dan secara relatif tampak sempurna pada
Insan Kamil.
Syeikh Abdurauf juga sangat
tidak sepakat dengan paham wahdatul wujud. Dalam bukunya yang berjudul
Bayan Tajalli, Abdurrauf menyatakan bahwa betapapun asyiknya seorang
hamba dengan Tuhan, Khalik dan makhluk tetap mempunyai arti sendiri.
Banyak karya yang dihasilkan olehnya. Ada 21 kitab yang karya tulis
telah dihasilkan yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3
kitab fiqih dan sisanya kitab tasawuf. Syeikh Abdurauf menulis dalam
bahasa Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman Al
Mustafid diakui sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di
Indonesia dengan bahasa Melayu. Mir’at at Tulab fi Tahsil Ma’rifat
Ahkam asy Syar’iyyah lil Malik al Wahhab merupakan salah satu kitabnya
di bidang ilmu fiqih. Di dalamnya memuat berbagai persoalan fikih
Madzhab Syafiie. Kitab ini juga menjadi panduan para kadi di kerajaan
Aceh.
Di bidang tasawuf, karyanya
natara lain Kifayatul Al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli,
Umdat al Muhtajin dan Umdat al Muhatajin Suluk Maslak al Mufridin.
Kitab yang terakhir ini merupakan karya terpenting Syeikh Abdurauf.
Kitab Umdat al Muhtajin Suluk maslak al Mufridin terdiri dari tujuh
bab. Isinya memuat antara lain memuat tentang zikir, sifat-sifat Allah
dan Rasul-Nyadan asal usul mistik.
Pengajaran dan Karya
Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).
Karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:
- Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab. Karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
- Tarjuman al-Mustafid. Merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
- Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
- Mawa'iz al-Badî'. Berisi sejumlah nasehat penting dalam pembinaan akhlak.
- Tanbih al-Masyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
- Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud. Memuat penjelasan tentang konsep wahadatul wujud.
- Daqâiq al-Hurf. Pengajaran mengenai taswuf dan teologi.
Wafat
0 Komentar untuk "Inilah Profil Syekh Abdurrauf Singkil "